Kumpulan Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta, Perjuangan, dan Pahlawan

Kumpulan Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta, Perjuangan, dan Pahlawan
3 menit

Nama Chairil Anwar dikenang abadi bersama karya-karya puisinya yang menjadikannya salah satu sastrawan terbesar di Indonesia. Sudahkah kamu tahu apa saja puisi Chairil Anwar yang ditulis semasa hidupnya?

Berbicara soal dunia sastra Indonesia, tentu tak luput membahas nama-nama penyair besar yang karya puisinya dikenal abadi.

Salah satu di antara penyair besar Indonesia tersebut adalah Chairil Anwar, pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922.

Chairil Anwar dikenal dengan julukan ‘Si Binatang Jalang’ yang dikutip dari karyanya berjudul “Aku”.

Semasa hidupnya, Chairil menulis banyak puisi dalam berbagai tema, mulai dari tentang kehidupan, percintaan, hingga perjuangan kemerdekaan.

Berikut ini beberapa karya puisi Chairil Anwar yang tak lekang oleh waktu…

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

puisi karya chairil anwar

sumber: tirto.id

1. Puisi Aku Karya Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

2. Puisi Doa Karya Chairil Anwar

Kepada pemeluk teguh,

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh mengingat

Kau penuh seluruh

Cahaya-Mu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu-Mu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling.

3. Puisi Karawang Bekasi Karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

4. Sia-Sia

Penghabisan kali itu kau datang

Membawaku karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

5. Sendiri

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

6. Tak Sepadan

Aku kira,

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa apa

Aku terpanggang tinggal rangka.

7. Penghidupan

Lautan maha dalam

Mukul dentur selama

Nguji tenaga pematang kita

Mukul dentur selama

Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia

Kecil setumpuk

Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

8. Nisan

Untuk nenekanda,

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta.

9. Ajakan

Ida

Menembus sudah caya

Udara tebal kabut

Kaca hitam lumut

Pecah pencar sekarang

Di ruang lega lapang

Mari ria lagi

Tujuh belas tahun kembali

Bersepeda sama gandengan

Kita jalani ini jalan

Ria bahagia

Tak acuh apa-apa

Gembira girang

Biar hujan datang

Kita mandi-basahkan diri

Tahu pasti sebentar kering lagi.

10. Pelarian

I

Tak tertahan lagi

remang miang sengketa di sini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.

II

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

“Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungai sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja!”

Tak kuasa terengkam

Ia dicengkam malam.

11. Suara Malam

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

Dengan ketenangan selama bersatu

Mengatasi suka dan duka

Kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

Jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadap cahaya.

Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

12. Hukum

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul.

Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu

Pucat mukanya – Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa: Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!

13. Taman

Taman punya kita berdua

Tak lebar luas, kecil saja

Satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

Halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

Dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

Aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia.

14. Lagu Biasa

Di teras rumah makan kami kini berhadapan

Baru berkenalan. Cuma berpandangan

Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan

Dalam lakon pertama

Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa

Dan rumput kering terus menyala

Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi

Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”

Kuseret ia ke sana.

15. Kesabaran

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba

***

Ssumber www.99.co/id 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *